ONCE WAS ENOUGH


Hawa malam membawa tenang saat ponselku berdering. Nama Rio muncul di layar kecil itu, teman satu organisasi yang sudah lama kukenal. Jam menunjukkan pukul 21.15, dan dia datang membawakan titipanku: es krim dan ayam penyet. Dia berdiri di depan pintu kost, menunggu aku membukanya.

Begitu kubuka pintu, sorak dan goda dari teman-teman kost langsung membahana. “Siapa itu, Yul? Yang baru, ya?” canda mereka dari balik pintu kamar masing-masing. Mereka tahu aku baru saja putus, hubungan yang melelahkan dan penuh air mata. Aku hanya tersenyum kecil, sementara Rio berdiri di balik pintu dengan senyum simpul.

Kami berbicara di depan pintu, obrolan mengalir tentang hal-hal biasa sampai masa lalu, mantan, dan tentu saja teman-temannya yang gemar berkomentar. Sesekali, kami tertawa getir saat mengenang teman-teman Rio yang suka memperbesar hal kecil, terutama soal hubungan. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam percakapan ini suasana akrab yang dulu terasa ringan kini sedikit canggung. Ada cerita lama yang belum sepenuhnya hilang, meskipun kami pura-pura lupa.

Malam semakin larut, hawa dingin menyusup lembut ketika akhirnya Rio pamit pulang. Aku masuk kembali ke kost dengan perasaan campur aduk. Begitu pintu kututup, teman-teman kost langsung menyergapku. Tatapan mereka penuh rasa ingin tahu. Kak Nia, yang paling senior dan paling perhatian di antara kami, duduk dengan senyum penuh arti di sofa kecil dekat pintu.

“Nah, jadi gimana, Yul? Kamu sama Rio itu apa ceritanya?” tanyanya dengan pandangan menyelidik.

“Apaan, Kak?” jawabku sambil tertawa kecil. “Dia cuma nganterin makanan, ga lebih.”

“Alah, Yul,” sahut Kak Rina dari balik pintu kamarnya, “Kalau cuma nganterin makanan, ga mungkin ngobrolnya sampai segitunya, kan?” yang lain langsung ikut tertawa.

Aku menghela napas, pasrah menghadapi keusilan mereka. “Serius, Kak, gak ada apa-apa kok. Dulu, iya... kami pernah sama-sama suka, tapi itu sudah lewat. Dia itu cuma pariban, sepupu jauh.”

Kak Nia terkekeh. “Iya, iya, pariban. Tapi tetep aja, pesona anak prodi fbs kayaknya sulit kamu tolak kan?” katanya menggoda. Aku berpura-pura manyun, tapi dalam hati, aku tahu ada benarnya. Entah kenapa, meski aku mengatakan tidak ada perasaan yang tersisa, bayangan obrolan tadi dengan Rio terus menghantui pikiranku.

“Yul, aku tahu kamu. Coba ingat-ingat deh. Ini bukan cuma satu atau dua orang yang bikin kamu sakit hati. Kamu pernah suka sama teman sekelas Kak Nia, kan? Terus, kamu pernah pacaran sama Riyan, temannya Rio, dan sekarang kamu dekat sama Rio lagi. Mereka semua itu anak fbs, Yul. Gimana nggak bikin hidup kamu berputar-putar?”

Aku terdiam. Terkadang aku memang terlalu berani mengambil risiko dalam urusan hati. Semua itu seperti sudah menjadi bagian dari pola yang sulit kuhindari, meski sadar itu bisa membuat aku terluka lagi.

“Dengerin deh, Yul,” Kak Nia menatapku serius. “Aku tahu kamu keras kepala kalau sudah jatuh cinta. Dulu saja, kamu sampai capek sendiri gara-gara yang kemarin itu. Nangis, sakit hati, balik lagi, terus begitu. Mau diulangin?”

Aku tertawa kecil, mencoba menyembunyikan sesak yang mulai muncul. “Tapi kali ini beda, Kak. Aku sama Rio cuma teman, beneran. Lagi pula, kalian tahu kan, gimana gosip bakal beredar kalau aku sama Rio? Teman-temannya, teman mantan, pasti bakal ngomongin kami.”

Kak Nia menatapku lebih dalam, seolah tidak percaya. “Justru itu. Jangan cari yang bikin hidup kamu makin ruwet lagi. Kamu itu gampang banget baper, terus keras kepala lagi. Sekali sayang, kamu kayak lupa semua luka yang pernah kamu dapat.”

Teman-teman yang lain ikut menimpali nasihat Kak Nia. “Iya tuh, Yul, jangan jatuh di lubang yang sama. Kalau Kak Nia sampai ngomong kayak gitu, pasti dia udah benar-benar khawatir. Anak prodi fbs bukannya nggak baik, tapi kok kamu apesnya selalu dapat yang begitu-begitu?”

Aku hanya tertawa pahit, tak tahu harus menanggapi apa. Kak Nia melihat wajahku yang mencoba tegar dan menepuk bahuku perlahan. “Yul, aku ngomong ini karena sayang sama kamu. Jangan sampai kamu sakit hati lagi hanya karena nggak bisa bedain rasa nyaman dan cinta.”

Aku terdiam, tak bisa berkata-kata. Obrolan terus berlanjut dengan canda dan nasihat mereka, tapi di dalam hati, aku tahu ada ketakutan yang tak bisa kuungkapkan. Mungkin benar kata Kak Nia, aku ini keras kepala dalam urusan hati. Terlalu mudah terbuai kenyamanan, terlalu sulit untuk benar-benar melepaskan.

Malam itu, sebelum tidur, aku termenung lama. Mungkin perasaan ini memang seharusnya kutinggalkan. Mungkin, yang perlu kupilih adalah jalan lain, meski tanpa Rio di dalamnya. 

Kupikir semuanya bakal baik-baik aja.

Tapi malam itu terlalu sunyi untuk disebut biasa.

Langkah Rio sudah lama menghilang dari depan kost, tapi pikiranku belum kemana-mana masih tertinggal di obrolan singkat, di jeda canggung, di tatapan mata yang seolah bilang: “kita pernah ada, kan?”

Aku tiduran, menatap langit-langit kamar yang remang, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama… aku ngerasa bingung sama diri sendiri.

Rio memang nggak ngomong banyak. Tapi justru itu yang bikin hati makin nggak tenang.

Aku ingat kata Kak Nia tadi:

“Kamu itu gampang banget baper, Yul. Sekali sayang, kamu suka lupa semua luka yang pernah kamu lewati.”

Dan mungkin… dia benar.

Aku terlalu cepat luluh pada hal-hal kecil. Suara yang familiar. Sikap yang perhatian. Hadirnya dia malam ini sesimpel bawain es krim, cukup buat hatiku goyah.

Tapi aku takut.

Takut ini cuma pengulangan.

Takut kalau ternyata aku cuma tempat singgah sementara. Lagi.

Kupeluk bantal lebih erat.

Dalam hati, aku bertanya:

Kalau memang sudah selesai, kenapa rasanya baru mulai?

 

Pagi datang seperti biasa. Tapi rasanya nggak biasa.

Aku bangun lebih awal dari biasanya, padahal malam tadi mataku susah terpejam.

Milo sachet kuseduh pelan. Tanda kebiasaanku di pagi hari untuk sarapan, tapi ga juga sihkadang karna lagi mood dan lagi ingat aja, mungkin pagi ini sekalian buat nenangin isi kepala yang sejak semalam nggak berhenti muter.

 

Handphone kuletakkan di meja, tapi mataku tetap curi-curi pandang.

Nggak ada pesan dari Rio.

Dan anehnya, itu justru bikin aku makin resah.

Kupikir dia bakal ngabarin sesuatu. Nanya aku udah sarapan atau belum, kek. Atau setidaknya… nanya kabar, kayak dulu.

Tapi ternyata diam juga bisa jadi jawabannya sendiri.

Kak Nia lewat depan kamar, senyum sambil nyuput teh. “Masih mikirin Rio?” tanyanya santai.

Aku cuma nyengir. “Enggak kok.”

Jawaban refleks, tapi penuh kebohongan kecil.

Padahal dalam hati aku cuma pengen satu hal:

Kalau memang udah nggak ada apa-apa, kenapa pertemuan sesingkat itu bisa ninggalin bekas?

Dan kalau ternyata… aku masih peduli, aku harus apa?

Keesokan harinya, suasana kost tetap ramai seperti biasa. Suara wajan dari dapur, tawa-tawa kecil dari ruang tengah, dan musik yang entah dari kamar siapa, terdengar samar-samar.

 

Aku duduk di pojok sofa sambil memainkan ponsel. Rasanya aneh, karena biasanya aku cukup sibuk pagi hari tapi hari ini… aku malah menunggu sesuatu yang tidak pasti. Entah itu chat dari Rio, atau sekadar rasa yakin dari dalam diri sendiri.

Notifikasi masuk.

Tapi bukan dari Rio.

Hanya broadcast dari grup organisasi.

Kak Nia duduk di sebelahku, membawa dua cangkir teh. Salah satunya disodorkan ke arahku. “Masih belum ada kabar dari Rio?”

Aku hanya mengangkat bahu. “Mungkin dia sibuk.”

“Yul,” katanya pelan, “kadang yang diem itu bukan karena sibuk. Bisa jadi… lagi mikir harus ngomong apa.”

Aku mengangguk kecil. Entah kenapa, kata-kata Kak Nia malam itu masih terngiang: “Jangan sampai kamu sakit hati lagi hanya karena nggak bisa bedain rasa nyaman dan cinta.”

Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku cuma takut, Kak.”

“Takut apa?”

“Takut kalau semua ini cuma pengulangan. Takut aku terlalu nyaman dan mikirnya udah sejauh itu, padahal dia enggak.”

Kak Nia menepuk pahaku pelan. “Makanya jangan lari ke masa lalu cuma karena dia datang di waktu yang kamu lagi sepi.”

Aku terdiam. Kata-katanya menamparku dengan lembut. Aku tahu dia benar.

Dan mungkin… ini saatnya berhenti menyimpan harapan dalam diam.

 

Hari itu, Yuly begitu uring-uringan. Bahkan Kak Nia yang biasanya cerewet pun memilih diam, membiarkannya mondar-mandir dari kamar ke dapur lalu balik lagi ke ruang tengah. Semua terasa ganjil. Bukan karena hal besar, tapi justru karena hal yang paling sepele. Rio tidak lagi menghubunginya. Tidak menanyakan kabar, tidak basa-basi seperti biasanya.

Tiga hari sudah berlalu sejak malam itu. Awalnya Yuly mencoba memahami, mungkin Rio sibuk, mungkin sedang banyak tugas, atau mungkin… memang sudah tidak tertarik lagi untuk sekadar menyapa.

Tapi hari ketiga, saat Yuly mulai belajar mengabaikan, notifikasi itu datang.

Rio:

“Yul, bisa minjemin duit nggak? Nanti aku ganti minggu depan.”

Yuly menatap layar ponsel tanpa ekspresi. Dada yang sempat berharap, kini justru terasa nyeri. Bukan karena Rio meminjam uang itu bukan pertama kali. Tapi karena setelah tiga hari tanpa kabar, itulah satu-satunya hal yang Rio katakan.

Bukan “apa kabar?”

Bukan “maaf kemarin”

Bukan juga “aku kepikiran kamu”

Tapi uang. Lagi-lagi uang.

Yuly membalikkan badan, menatap langit-langit kamar kost-nya yang sudah mulai mengelupas di beberapa sudut. Dia mendesah, antara ilfil dan tidak tega. Bukan karena nominalnya—tapi karena dia lelah merasa dimanfaatkan.

Tapi tetap saja… jari-jarinya mengetik balasan.

“Berapa?”

Singkat. Dingin. Tapi jelas dia belum bisa menolak.

Kak Nia tiba-tiba masuk dan duduk di sisi ranjang. “Dia ngechat lagi ya?”

Yuly hanya mengangguk pelan. Kak Nia tak perlu penjelasan lebih panjang.

“Aku tahu kamu baik, Yul. Tapi jangan sampai kebaikanmu jadi jalan orang lain buat seenaknya.”

Yuly diam. Dalam hatinya, dia bertanya: apa semua ini masih soal rasa… atau cuma kebiasaan yang sulit dihentikan?

Dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar jenuh. Bukan karena Rio tak peduli, tapi karena dirinya sendiri yang terlalu sering mengabaikan tanda-tanda.

 

Hari-hari berikutnya terasa berat bagi Yuly. Ia merasa seperti menggantung di antara rasa rindu dan kecewa. Rio tak lagi menghubunginya, bahkan untuk sekadar menanyakan kabar. Rasanya asing. Biasanya ada satu chat singkat di malam hari, tapi kini ponselnya sunyi.

Yuly pun mulai menata pikirannya, mencoba kembali ke rutinitas tanpa menyisakan tempat untuk Rio. Namun, di hari ketiga saat hatinya mulai sedikit tenang, Rio kembali. Bukan dengan kata maaf atau kabar tulus, melainkan pesan yang terdengar terlalu familiar.

“Yul, bisa pinjam uang sebentar gak? Besok aku balikin.”

Yuly menatap layar ponsel lama. Bukan marah, tapi jengkel. Ia tarik napas panjang, pikirannya bercampur aduk. Ada rasa ilfil, tapi juga rasa tidak enak. Ini bukan pertama kalinya Rio meminjam uang, dan bukan juga pertama kalinya Yuly tidak tahu bagaimana cara menolak.

Malam itu ia tidur dalam gelisah. Namun seperti lingkaran tak berujung, Rio kembali datang dengan caranya yang manis kata-kata yang penuh rayuan, nada bicara yang lembut, dan pesan singkat yang membuat Yuly tersenyum meski kesal.

Hubungan mereka perlahan kembali hangat. Yuly mulai membuka hati lagi. Ada malam-malam yang diisi dengan tawa, cerita ringan, dan rasa nyaman yang entah kenapa tetap ia rindukan.

Tapi kenyataan kembali menguji.

Suatu hari, saat mereka sedang dekat-dekatnya, seseorang dari masa lalu muncul: Andy.

Andy bukan sekadar mantan. Dia adalah bagian dari cerita lama Yuly yang belum selesai. Teman dekat Rio sekaligus laki-laki terakhir yang benar-benar membuatnya jatuh cinta. Dan kini, Andy kembali dengan wajah yang sama, dengan tatapan yang masih membuat hati Yuly berdebar.

Kehadiran Andy mengguncang semuanya.

Rio berubah. Cemburu, posesif, dan mulai menunjukkan sisi gelapnya. Dia menuduh Yuly diam-diam masih mencintai Andy, dan mulai menjadikan itu alasan untuk marah, menekan, bahkan memanipulasi.

Tak hanya itu, Rio kembali meminjam uang, bersikap kasar saat ditolak, dan ketika Yuly mulai melawan, Rio balik memainkan peran korban.

“Kamu nolak aku karena Andy, kan? Kalian ada apa? Gak usah munafik, Yul.”

Hingga akhirnya ancaman keluar dari mulutnya.

“Kalau kamu nggak nurut, aku kasih tahu Andy semua tentang kita. Termasuk… yang waktu itu. Kamu pikir kamu bisa jaganama baik kamu terus-terusan?”

Yuly terpaku. Dunia seakan berhenti. Tak menyangka bahwa orang yang selama ini ia beri kepercayaan, justru tega mengancam balik dan mempermainkan luka lamanya.

Saat itu juga, hatinya retak.

Utang-utang Rio tak pernah dibayar. Dia makin sering menghilang dan hanya muncul saat butuh. Dan lebih dari segalanya, Yuly merasa harga dirinya diinjak-injak. Bukan soal uang, tapi soal kepercayaan dan perasaannya yang disalahgunakan.

Di satu malam yang dingin, Yuly duduk di tepi kasurnya. Ponselnya ia letakkan. Rio masih terus mengetik panjang, marah, menyalahkan. Tapi Yuly sudah tidak peduli.

Tangisnya tak lagi deras. Hanya mata yang sembab dan hati yang tenang. Ia tahu, ini saatnya benar-benar berhenti.

Ia hapus chat itu. Ia blokir semua akses Rio. Kali ini bukan karena marah, tapi karena dia memilih untuk tidak lagi membiarkan dirinya disakiti.

Yuly tak ingin jadi korban dari kisah yang sama. Cukup sudah.

Setelah semua yang terjadi, aku mulai pelan-pelan membangun kembali diriku. Di titik itu, aku tak lagi ingin membohongi perasaanku sendiri tentang betapa dalam luka yang Rio tinggalkan, dan tentang bagaimana aku diam-diam masih berharap ada yang datang untuk memulihkan semuanya.

 

Andy datang… bukan sebagai pelarian, tapi sebagai seseorang yang pernah mengerti aku sepenuhnya. Saat ia menghubungiku kembali, aku tahu, aku tak boleh menyimpan apa pun.

Malam itu kami bicara panjang lewat telepon. Tak ada air mata, hanya suara yang lirih tapi penuh kejujuran. Aku ceritakan semuanya pada Andy tentang aku dan Rio, tentang pinjaman uang, tentang ancaman, bahkan soal manipulasi yang perlahan membuatku hancur. Tak ada yang aku tutupi. Tak ada yang aku tambahi.

Andy mendengarkan tanpa menyela. Kadang ia terdiam lama, seolah menahan amarah atau kecewa. Tapi dia tetap di situ. Dan entah kenapa, hatiku merasa lebih tenang. Lebih utuh.

Tapi seperti biasa, Rio belum selesai.

Beberapa hari setelah aku mulai menemukan damai, Rio kembali. Kali ini dari nomor yang berbeda, dengan pesan yang penuh nada manis:

“Aku minta maaf, Yul. Aku sadar aku banyak salah. Aku cumamau temenan aja, nggak lebih.”

Aku membaca pesannya dengan datar. Tidak terkejut. Tidak tergerak. Aku tahu, dia hanya datang saat butuh. Butuh uang, butuh perhatian, tapi tidak pernah butuh aku sebagai manusia.

Dan aku benar.

Hanya butuh satu konflik kecil, Rio kembali menunjukkan wajah aslinya. Ia marah, lalu menyerangku dengan kata-kata yang menyakitkan.

“Kamu tuh cewek rendahan, Yul. Cewek mainan. Nggak heran mantan-mantanmu ninggalin kamu. Termasuk si Andy itu.”

Aku menahan napas. Ingin marah, tapi tubuhku gemetar. Rio tidak hanya menghinaku, tapi juga menyeret Andy orang yang kini sedang berusaha menyembuhkan luka yang justru dia yang buat.

Tak tahan lagi, aku ceritakan semuanya ke Andy. Tentang ancaman itu. Tentang pesan-pesan penuh kebencian. Tentang caranya merendahkanku seolah aku tak punya harga diri. Andy mendengarkan, dan untuk pertama kalinya, dia tak hanya jadi pendengar.

Dia menghubungi Rio.

Kukira Rio akan merasa bersalah. Kukira mungkin, sedikit saja, dia akan minta maaf. Tapi tidak.

 

Rio justru makin marah. Dia menuduh aku yang memprovokasi. Katanya, akulah penyebab dia dan Andy bertengkar. Katanya, aku perempuan yang sengaja mengadu domba, bikin hubungan Andy rusak dengan teman-temannya. Dia menyebar cerita kalau aku hanya main-mainkan mereka berdua.

Hatiku seperti disayat.

Rio bukan hanya mencoba menjatuhkan aku di depan Andy. Dia berusaha membalikkan cerita, memutar semua fakta, dan menjadikanku sosok jahat dalam kisah yang dia ciptakan sendiri.

Tapi kali ini aku tidak mundur.

Aku tahu siapa aku, dan Andy tahu kebenarannya.

Aku tidak lagi takut dengan ancaman. Aku tidak akan menunduk atas fitnah. Luka yang aku punya kini bukan alasan untuk lemah tapi pelajaran yang membuatku jauh lebih kuat.

Dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar bisa melihat: aku pantas bahagia. Aku pantas dicintai dengan tulus bukan dimanfaatkan, bukan dimanipulasi, dan bukan dijadikan pelarian untuk ego siapa pun. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Perjalanan Mencintai Diri di Balik Cermin Insecurity”

Kamar Kostku

Peran Media Sosial Terhadap Pinjaman Aplikasi Online