ONCE WAS ENOUGH

Hawa malam membawa tenang saat ponselku berdering. Nama Rio muncul di layar kecil itu, teman satu organisasi yang sudah lama kukenal. Jam menunjukkan pukul 21.15, dan dia datang membawakan titipanku: es krim dan ayam penyet. Dia berdiri di depan pintu kost, menunggu aku membukanya. Begitu kubuka pintu, sorak dan goda dari teman-teman kost langsung membahana. “Siapa itu, Yul? Yang baru, ya?” canda mereka dari balik pintu kamar masing-masing. Mereka tahu aku baru saja putus, hubungan yang melelahkan dan penuh air mata. Aku hanya tersenyum kecil, sementara Rio berdiri di balik pintu dengan senyum simpul. Kami berbicara di depan pintu, obrolan mengalir tentang hal-hal biasa sampai masa lalu, mantan, dan tentu saja teman-temannya yang gemar berkomentar. Sesekali, kami tertawa getir saat mengenang teman-teman Rio yang suka memperbesar hal kecil, terutama soal hubungan. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam percakapan ini suasana akrab yang dulu terasa ringan kini sedikit canggung. Ada cerita l...