Almost, But Never Ours


Pada tanggal 13 Februari. Ada sesuatu yang ironis sekaligus manis dari tanggal itu seolah semesta sengaja menempatkan kami satu hari sebelum hari yang biasanya dirayakan oleh seluruh pasangan di dunia. Sejak saat itu, aku merasa seperti mendapat kesempatan kedua untuk mengulang kebahagiaan yang dulu pernah patah di tangan kami sendiri.

Aku bahagia. Luar biasa bahagia.

Aku sayang, dan aku cinta dengan segala kebodohan yang tak bisa kuhilangkan sejak awal.

 

Tapi sejak hari itu pula, aku belajar bahwa harapan kecil bisa menjadi sumber luka besar. Karena meski aku tidak pernah meminta apa-apa, selalu ada keinginan sederhana yang kupendam: diperhatikan, diingat, disayangi tanpa harus meminta.

 

Tiga tahun bersama, kamu tidak pernah memberi kado apa pun. Tidak ada bunga, tidak ada cokelat, tidak ada hadiah kecil yang biasanya pasangan lain bagikan dengan malu-malu. Aku bilang tidak apa-apa. Tapi diam-diam aku tetap berharap. Dan seperti biasa, harapan itu jatuh begitu saja tanpa sempat menyentuh tanah.

 

Tetap tidak apa-apa, pikirku. Yang penting kamu kembali. Yang penting kamu masih memilih aku… meski mungkin tidak sepenuhnya.

 

Bulan April datang. Kita putus lagi. Alasannya sepele, hanya karena aku ngambek. Tapi ngambek itu bukan karena ingin berpisah. Itu cuma caraku meminta perhatianmu. Caraku bertanya tanpa suara: Masih sayangkah kamu?

 

Namun kamu mengiyakan perpisahan itu semudah kamu menutup pintu. Dan aku terdiam. Begitu ringan kamu melepaskanku.

 

Tapi hidup suka bercanda. Tidak lama setelah itu kita baikan. Tidak benar-benar balikan, katamu. Kita hanya… tetap bersama tanpa status.

Kita tetap punya hubungan,” katamu sambil memandang jauh.

Kau punyaku, dan aku punya kau.

 

Kata-kata itu tidak masuk akal. Tapi anehnya, aku tetap bahagia mendengarnya. Karena sejak awal aku memang mencintaimu dengan cara yang tidak logis.

 

Bulan Juli adalah bulanmu. Ulang tahunmu. Bulan yang selalu membuatku sibuk memikirkan hal-hal kecil yang ingin kulakukan untukmu. Jam setengah tujuh aku menghubungimu, kamu datang pukul sembilan. Katamu itokmu sedang merayakan ulang tahunmu. Aku tersenyum dan mengangguk. Aku ikut bahagia, karena kamu ternyata punya banyak orang yang menyayangimu.

 

Untukmu, aku rela berjalan jauh ke ATM, padahal aku ini mageran tingkat tinggi. Tapi cinta memang membuat seseorang melakukan hal-hal konyol tanpa banyak pikir. Yang penting kamu bahagia, pikirku. Dan itu sudah cukup.

 

Ulang tahun kita sama bulan, hanya tanggalnya berbeda. Aku mengira kamu akan mengingat hariku seperti aku selalu mengingat harimu.

Tapi ternyata tidak.

 

Malam itu, jam tangan dan baju pemberian perempuan lain menjadi alasan perdebatan panjang. Kamu bilang itu dari adekmu. Mungkin benar, mungkin tidak. Tapi bukan itu yang menyakitkan. Yang menyakitkan adalah kemarahanmu keras, tajam, seolah aku yang bersalah.

 

Aku mencoba mengakhiri pertengkaran itu, berharap malam itu berubah menjadi sesuatu yang manis. Dalam hatiku masih ada ruang kecil yang percaya bahwa kamu akan memberiku kejutan tepat di hari ulang tahunku.

 

Ternyata aku terlalu percaya.

Terlalu berharap pada sesuatu yang tidak pernah kamu niatkan.

 

Kamu pergi dengan amarah. Dan tepat pukul 00:00 hari lahirkut tidak ada ucapan. Tidak ada pesan. Hanya gangguan sinyal dari amarah yang tak selesai.

Akhirnya aku memblokirmu, bukan karena benci, tapi karena kepalaku penuh dengan rasa sakit yang tidak tahu harus diarahkan ke mana.

 

Kamu menghubungiku lewat Instagram. Kukira untuk memberi ucapan, tapi ternyata masih menyambung pertengkaran.

Baru ketika aku menuliskan ucapan ulang tahun untuk diriku sendiri di Instagram, kamu sadar.

 

Kamu mengirim pesan pendek yang mencoba terdengar menyesal.

 

Selamat ulang tahun ya, Yul.

Maaf aku emosian… takut… trauma.

Sehat-sehat, lancar studimu.

Kau pasti marah samaku kan?

 

Aku membaca setiap kalimat dengan dada yang menghangat sekaligus membeku. Dan meski aku terluka, aku masih menjawab makasih.

 

Esok harinya, aku membuka blokmu. Malamnya kamu datang membawa bunga.

Sederhana.

Terlambat.

Tapi tetap saja membuat hatiku runtuh.

 

Hari-hari setelah itu terasa normal. Kita makan bareng, bercanda, saling membantu, bahkan jalan-jalan seperti dulu.

Tapi ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang samar tapi terasa jelas.

 

Lalu bulan Agustus datang, bersama PPL yang menyita waktu dan pikiran kita. Tanpa peringatan, semuanya bergeser. Kamu berubah menjauh. Komunikasi kita buruk. Waktumu tak pernah ada untukku. Kamu bilang sibuk, tapi untuk teman-temanmu kamu tetap punya waktu.

 

Dan akhirnya, pertengkaran itu pecah.

 

Sampe sini aja lah kita,” katamu datar.

Lupakanlah semua angan-angan yang pernah kita bangun.

 

Kalimat itu menghantamku seperti badai.

Aku memblokirmu lagi.

Seminggu kemudian kubuka, tapi kamu tidak datang. Tidak menoleh. Tidak bertanya apa aku baik-baik saja.

 

Dua minggu setelah itu, bulan September, kamu mengunggah foto dengan perempuan barumu. Aku melihatnya dan diam. Tidak menangis, tidak marah. Hanya… hancur perlahan.

Semua hal yang dulu aku minta dari kamu diposting, diajak jalan-jalan kamu lakukan dengannya tanpa ragu.

 

Padahal aku tidak pernah kamu ajak,” bisikku dalam hati.

 

Tapi seperti biasa, aku hanya bisa bilang: terima kasih. Terima kasih karena akhirnya kamu menjawab semua pertanyaan yang selama ini tidak pernah kamu jawab.

 

Hingga awal November, kita kembali terhubung. Bukan karena kalian, tapi karena urusan keluarga. Mamaku menyuruhku menghubungimu. Awalnya biasa saja.

Tapi ketika kita bertemu, kamu memelukku. Lama, ragu, hangat.

Kamu bilang kamu kangen.

Dan aku benci bagaimana dadaku langsung melemah mendengarnya.

 

Padahal kamu sudah punya pacar.

 

Besoknya kita bertemu lagi untuk makan kiriman dari orang tua. Kamu memelukku lagi. Tapi kali ini aku menangis.

Bukan hanya rindu.

Tapi kecewa yang menumpuk bertahun-tahun.

 

Kamu bercerita panjang. Kamu bilang kamu menyesal. Kamu bilang kamu ingin aku tetap ada.

Kamu bilang,

Tunggulah aku selesai kuliah. Kita sama-sama pergi dari kota ini.

 

Aku menatapmu saat itu, dan untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar lelah.

 

Bagaimana aku bisa menunggu seseorang yang bahkan tidak tahu cara memilihku?

 

Dan malam itu, aku sadar sesuatu

Tidak semua hubungan harus selesai dengan kata selesai.

Tidak semua cinta berakhir dengan kebencian.

 

Ada cinta yang memang harus dibiarkan retak pelan-pelan.

Ada kisah yang harus dibiarkan membusuk di tengah, bukan karena kita berhenti mencintai,

tapi karena kita berhenti dihargai.

 

Dan mungkin,

cinta kita adalah salah satu di antaranya.

 

Yang tak pernah selesai, tapi juga tak pernah benar-benar bertahan.

 

Dan malam itu juga aku sadar

Ada cerita yang tidak harus selesai bersama.

Ada hubungan yang berhenti bukan karena berhenti cinta, tapi karena berhenti dihargai.

 

Dan mungkin, ini adalah salah satunya

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

The Silence That Speaks to God

ONCE WAS ENOUGH