The Silence That Speaks to God


Ada waktunya diam menjadi satu-satunya bahasa yang bisa kupilih, bukan karena aku tak mampu bersuara, melainkan karena aku sadar suara sering kali hanya mengundang perdebatan yang tak pernah menemukan ujungnya. Diamku bukan tunduk pada keadaan, melainkan bentuk perlindungan diri; semacam pagar yang kubangun agar aku tidak semakin hancur oleh tuduhan yang bahkan tidak pernah lahir dari kenyataan. Dan aku tahu, biarlah sebagian kebenaran hanya tinggal di antara aku dan Tuhan, sebab manusia selalu pandai memutarbalikkan cerita sesuai seleranya.


Ironisnya, diamku justru dipelintir menjadi kelemahan. Aku dituding haus perhatian, dianggap menebar pesona, seolah hidupku hanya berputar pada pencitraan murahan. Padahal, bila kau sempat menoleh ke belakang, bukankah yang kau temui adalah aku aku yang tetap ada ketika kau terpuruk, aku yang menahan diri saat harga dirimu seharusnya sudah runtuh, aku yang merawat bahkan ketika engkau sendiri tak lagi layak disebut setia? Aku yang berulang kali merelakan hatiku dirobek demi kata “maaf” yang sering lebih mudah terucap dari bibirku ketimbang bibirmu.


Semua pertengkaran kita hampir selalu berakhir dengan aku yang memilih mengalah. Bukan karena aku salah, tapi karena aku berpikir mungkin damai itu lebih berharga daripada membuktikan kebenaran. Namun, kenyataannya aku hanya semakin tenggelam: dimarahi, diabaikan, tidak pernah diakui, bahkan disembunyikan seakan aku ini noda yang tidak boleh tersentuh cahaya.


Dan sekarang, ketika orang lain mulai mendengar versimu, kisah yang lahir pun menjadi berbeda. Seolah aku dalang dari semua kerusakan ini, sementara kebaikan yang kuberikan terkubur begitu saja. Aku tidak lagi terkejut; karena dari awal pun, aku sudah tahu, pengakuan manusia itu rapuh dan sering berubah arah.


Aku tak peduli siapa yang kini berjalan di sisimu. Yang masih menghantui hanyalah pertanyaan sederhana: apakah pernah, meski hanya sekali, kau benar-benar mengingat kebaikan yang kuberikan dengan tulus? Atau memang sejak awal, aku hanyalah persinggahan tempatmu menumpahkan letih, untuk kemudian kau tinggalkan tanpa jejak ketika badai reda?


Namun biarlah. Aku tidak perlu jawabanmu. Aku hanya bersandar pada Tuhan, yang Maha Tahu setiap luka yang tidak pernah kuceritakan, setiap air mata yang jatuh dalam doa-doa diamku, setiap kebaikan yang mungkin manusia anggap sia-sia. Sebab pada akhirnya, manusia bisa menolak, melupakan, bahkan menghapus, tetapi Tuhan tidak pernah alpa. Di hadapan-Nya, apa yang kulakukan tidak pernah hilang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Almost, But Never Ours

ONCE WAS ENOUGH